Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan menimbulkan masalah yang kompleks baik dari segi medis maupun sosial, ekonomi, dan budaya. Berdasarkan Global TB Report WHO 2020, Indonesia merupakan negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia. Diestimasikan terdapat 845.000 kasus TBC baru setiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 98.000 kasus atau setara dengan 11 kematian/jam. Penularan dan perkembangan penyakit TBC semakin meluas karena dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, pola hidup yang kurang aktif, penggunaan tembakau, dan alkohol (WHO, 2020).
Situasi tersebut semakin berat ketika lebih dari 200 negara di dunia dan Indonesia terimbas pandemi COVID-19. Sulitnya akses ke layanan kesehatan akibat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Alat Pelindung Diri yang terbatas, dan kekhawatiran pasien akan tertular juga menjadi tantangan bagi layanan dan pasien TBC. Selama pandemi, pasien dan calon pasien enggan untuk pergi ke layanan kesehatan sehingga menyebabkan menurunnya angka deteksi dan laporan kasus hingga -27%.
Live Streaming melalui media sosial Instagram dan Facebook dinilai efektif untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat luas, terutama di masa pandemi seperti saat ini. Inilah yang membuat Live Streaming menarik untuk diproduksi, ditonton maupun menjadi media advokasi. Tidak dipungkiri, pengguna internet dan media sosial saat ini merupakan generasi milenial, dan gen z, yang mana sebanyak 80% pengguna lebih menyukai tayangan video secara langsung daripada membaca artikel teks maupun blog. Itu data berdasarkan Livestream. Tidak hanya itu, pengguna aplikasi kita kenal dengan Instagram dan Facebook meningkat bahkan bermunculan bakat-bakat potensial yang dimiliki orang Indonesia terutama dalam pembuatan video streaming.
Karena itu, pentingnya mengadakan kegiatan Live Streaming dengan tema mengenai penyakit TBC, sebagai sarana edukasi masyarakat melalui media sosial, untuk menggambarkan kondisi yang terjadi pada pasien TBC. Serta, kami juga akan mengadakan beberapa program Giveaway berupa kuis yang mana bisa meningkatkan pengetahuan masyarakat luas nantinya.
Live streaming kali ini berkolaborasi dengan Health Activist sekaligus Leader of Indonesia Muda untuk Tuberkulosis (Siva Anggita) dengan bertemakan “Akses Layanan TB pada Keberagaman Seksualitas dan Gender” dan diadakan di akun instagram @inugrah.nugrah dan @rekat4indonesia

Pada Tema live streaming kali ini, banyak viewers yang mengajukan pertanyaan mengenai Akses layanan TB dan Keberagaman gender. Beberapa pertanyaan yang diajukan beserta jawaban dari narasumber sebagai berikut.
Bagaimana keterkaitan TBC dengan keberagaman gender? (@wiwit.rahayu.5496)
“Terdapat pembagian di berbagai wilayah mengenai gender yakni gender Superior dan gender Inferior pada pada konteks tersebut ada 1 gender tertentu yang dianggap lebih tinggi sehingga ada 1 gender yang dianggap lebih lemah dan dianggap mereka tidak punya hak untuk mendapatkan akses kesehatan sehingga ketika misalnya nih ya kalau kalau bicara di beberapa negara laki-laki kan ditempatkan pada gender gender yang lebih Superior dibandingkan perempuan ataupun gender lnferior, makanya ketika misalnya seorang laki-laki terindikasi misalnya mulai ada batuk berkepanjangan misalnya atau berat badannya mulai menurun dan tidak bisa bekerja akan lebih cepat di akta dibawa untuk ke pelayanan kesehatan karena memang ada ada pengaruhnya ke situ tapi pada teman-teman perempuan tidak seperti itu, karena dianggapnya tadi itu mereka nggak punya peran peran penting dalam dalam dalam kehidupan sehari-hari sehingga dianggap dinomor duakan.
Ada perempuan dan juga center lain ya gitu ketika mendapatkan akses itu ketika mendapatkan pengalaman mereka sakit sakit apa pun dalam hal ini itu dalam konteks ini kalau misalnya saya tarik lagi ke temen-temen yang hidup dengan HIV misalnya banyak kasus temen-temen perempuan dan transgender perempuan gitunya kemudian mereka tidak menyadari kalau ternyata mereka kalau misalnya sudah mulai batuk lama kemudian berat badan dalam waktu yang cepat itu tidak mau periksa, tapi setelah menyadari setelah suaminya meninggal suaminya kemudian diketahui karena suaminya HIV positif baru kemudian istri ya disuruh tes karena suaminya meninggal kemudian diterima dituruti. Kalau saya melihatnya pada konteks jika memang ada lebih komprehensif begini ketika ada satu dalam satu keluarga terinfeksi TB kemudian akan dicek ya satu keluarga yang ada di di dalam di dalam keluarga tersebut di rumah tersebut. Tapi kan nggak mungkin kalau misalnya TB lebih bisa gitu ya. Apakah kemudian istrinya anaknya itu kemudian juga terinfeksi atau nggak tapi dalam konteks itu berbeda begitu memang tadi itu kan stigma stigma masyarakat terhadap HIV juga kan sudah masih sangat tinggi gitu ya sehingga banyak yang perempuan dan juga temen-temen yang inferior yang dianggap bukan bagian dari entitas yang perlu mendapatkan atau didahulukan untuk mendapatkan akses kesehatannya.”
Apa dan Bagaimana Langkah yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat awam Ketika menemui kasus diskriminasi pada akses layanan TB? (@wulandari_425)
“Pada masing-masing layanan kesehatan sebenarnya punya alur sendiri untuk laporan diskriminasi, ada yang beberapa memasang kotak saran untuk melaporkan kasus-kasus tersebut. Berdasarkan pengalaman banyak kasus tersebut yang tidak dilaporkan, orang diam aja gitu, jadi kalau menurut saya sekecil apapun bentuknya diskriminasi dan ketaatan itu perlu dilaporkan laporan terdekat yang bisa kita lakukan adalah kepala Puskesmas atau penyedia layanan ya atau orangnya mendiskriminasi. Dulu pernah kita ada salah satu kasus apa namanya diskriminasi juga kemudian kita salah mengambil langkah yang kita lakukan langsung mengajukan itu kepada Dinas Kesehatan tapi itu kemudian tidak mendapatkan penanganan karena konteksnya saat itu terjadinya adalah di layanan kesehatan sehingga seharusnya kita juga melaporkan itu kepada pimpinan tertinggi di layanan tersebut selama memang kita ada buktinya.
Ini juga kita tuh nggak pernah mencatat atau mendokumentasikan apa yang terjadi terhadap kita karena tadi saya bilang banyak orang yang masih menganggap perlakuan perlakuan diskriminatif di layanan Kesehatan.”
Apa yang menjadi motivasi dan tujuan Kak Irfan untuk bisa menjadi perwakilan dalam mengurus masalah TB ini? Dan bagaimana progress dari awal hingga sekarang? (@quin.kimselia)
“Yang menjadi motivasi saya simple, karena saya merasa bahwa saya juga warga negara Indonesia saya juga dan saya melihat bahwa ada fenomena yang tidak bisa kita biarkan semakin dari tahun ke tahun gitu ya kita semakin sering mendengar bahkan melihat gitu ya tindakan-tindakan kekerasan berbasis gender pada kelompok beragama seksual terhadap perempuan dan juga terhadap laki-laki itu banyak terjadi, kemudian kita juga masih sering mendengar gitu ya tindakan tindakan diskriminatif terhadap teman-teman yang hidup dengan HIV dan teman kelompok beragaman.
Sebagai orang yang yang yang memiliki nilai kemanusiaan saya merasa bahwa ini gitu ya saya merasa bahwa ada nilai di bagian dari dari hati saya yang kemudian harus bergerak menyelesaikan permasalahan ini. Saya merasa bahwa ketika saya hidup di dunia yang untuk apa sih kalau misalnya kita tidak untuk menolong sesama manusia yang lagi sakit dan menurut saya ini adalah cara saya untuk bisa menolong kawan-kawan, mungkin saya tidak bisa ngasih dalam bentuk material atau tidak bisa ngasih bantuan dalam bentuk apa hal-hal yang sifatnya konkret tapi dengan ini setidaknya saya bisa membantu teman-teman untuk bisa mendapatkan hasil yang mereka sebagai warga negara.”
Pada akhir sesi, diadakan sesi Giveaway yang berhadiahkan saldo e-money dengan total Rp. 300.000 untuk 6 orang pemenang aktif dalam Livestreaming tersebut. Kedepannya kegiatan ini akan dilaksanakan lagi sebulan sekali dengan tema yang berbeda di tiap Live Instagram.
Untuk dokumentasi kegiatan telah diupload di Instagram dan Youtube
1. Yayasan Rekat Peduli Indonesia (@rekat4indonesia) • Instagram photos and videos
2. MARI KITA KENALI KEBERAGAMAN SEKSUALITAS DAN GENDER – YouTube